Saat ini pendidikan di Indonesia sedang diwarnai berbagai kasus yang mengarah
pada kasus criminal seperti pembocoran soal dan jawaban UN oleh oknum guru dan
kepala sekolah, penganiayaan oknum guru kepada murid dan pemerkosaan murid oleh
oknum guru dan kepala sekolahnya sendiri. Kasus-kasus ini sudah tentu
berpengaruh terhadap citra pendidikan di Indonesia yang nanti muaranya akan
mengarah kepada kualitas pendidikan.
Jika ditelusuri lebih jauh, kasus-kasus di dunia pendidikan yang membuat
pendidikan di Indonesia menjadi “kotor” sebenarnya disebabkan oleh orang-orang
internal di dunia pendidikan itu sendiri (pendidik) dan bukan oleh orang lain.
Misalnya kasus oknum guru dan kepala sekolah yang membocorkan soal dan jawaban
UN kepada siswanya sendiri, oknum guru yang dengan tega melakukan penganiayaan
fisik kepada muridnya sendiri hingga sang murid mengalami kerusakan fisik dan
mental serta oknum guru dan kepala sekolah yang dengan tega mencabuli atau
memperkosa siswinya sendiri. Hal ini sudah barang tentu akan membuat citra para
pendidik di Indonesia menjadi rusak. Apalagi pendidik itu merupakan salah satu
penentu keberhasilan proses pendidikan. Selain itu pendidik pun sebenarnya
merupakan sosok yang pantas untuk diteladani dan ditiru oleh murid-muridnya
sendiri.
Efek dari kasus-kasus pencemaran dunia pendidikan yang dilakukan oleh kaum
pendidik ini sudah tentu mengarah ke hal-hal negatif dan bukan tidak mungkin
akan berpengaruh oleh siswanya sendiri. Misalnya kasus oknum guru yang
memperkosa muridnya sendiri, bisa jadi hal ini akan ditiru oleh siswa sendiri
dan bahkan oleh siswa yang mendengar cerita ini. Seperti kata pepatah guru
kencing berdiri, murid kencing berlari. Apapun tindakan yang dilakukan
oleh guru, akan ditiru oleh siswa-siswanya. Akhirnya, sekarang timbul banyak
kasus yang diberitakan oleh media massa yang menyatakan bahwa banyak oknum
siswa yang melakukan tindakan pemerkosaan dan pencabulan kepada temannya dan
orang lain di sekitarnya. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh mind set siswa
yang menyatakan “ah guru saja boleh melakukan pemerkosaan dan pencabulan
murid. Massa saya sebagai murid tidak boleh melakukan itu. Bukannya, saya di sekolah
diajarkan untuk menuruti apa yang dikatakan dan diperbuat oleh guru saya”.
Andai saja semua siswa di Indonesia mendengar berita tentang kasus pencabulan
guru kepada muridnya sendiri dan semua siswa di Indonesia juga punya kesamaan mind
set yang seperti itu, maka cita-cita pendidikan Indonesia yang ingin
membentuk manusia Indonesia seutuhnya akan berubah arah menjadi membentuk
manusia pemerkosa sejati. Demikian halnya dengan kasus maraknya oknum guru dan
kepala sekolah yang membocorkan soal dan jawaban UN kepada siswanya sendiri,
agar nantinya sang guru mendapat pujian bahwa dirinya telah sukses mendidik
siswanya dan berhasil lulus dengan nilai yang memuaskan. Hal ini juga akan
berdampak buruk pada mental dan moral siswa tersebut. Bisa saja siswa berpikir
“buat apa saya belajar bersungguh-sungguh, toh juga nanti UN saya dibantu
oleh guru saya dan saya pasti lulus”. Pemikiran yang seperti ini tentu akan
berpengaruh kepada motivasi belajar siswa menjadi menurun. Motivasi belajar
menurun, maka otomatis niat belajar tidak ada. Niat belajar yang tinggi adalah
salah satu faktor penentu keberhasilan proses belajar. Proses belajar yang baik
sangat menentukan keberhasilan proses pendidikan, karena esensi dari sebuah
pendidikan adalah belajar. Berarti jika motivasi belajar siswa menurun,
keberhasilan proses pendidikan terhambat. Muaranya dengan terhambatnya proses
pendidikan maka kualitas pendidikan menjadi tidak baik. Jika saja, semua guru
di Indonesia melakukan kecurangan yang seperti itu dalam UN, berarti nilai-nilai
akhir UN yang didapat oleh setiap siswa di Indonesia adalah sebuah kepalsuan
dan tidak mencerminkan kualitas. Sebuah fakta yang mengejutkan pernah ditemukan
oleh penulis sendiri, bahwa ada seorang siswa ketika SMP, nilai UN mata
pelajaran Matematika mendapat nilai sempurna yaitu 10. Namun ketika dia sudah
menginjak SMA, kebetulan dia mendapat kesempatan oleh guru matematika untuk
mengerjakan sebuah soal tentang persamaan kuadrat, dia sama sekali tidak
mengetahui mana yang disebut dengan sumbu X dan sumbu Y pada diagram Cartesius.
Gurunya pun hanya bisa menggeleng kepala ketika setelah ditanya kepada sang
murid tentang nilai UN Matematika yang mendapat nilai 10. Padahal kita ketahui
bahwa pelajaran tentang sumbu X dan sumbu Y dalam diagram Cartesius itu sudah
dipelajari ketika masih di bangku Sekolah Dasar. Inilah yang menjadi bukti
bahwa nilai UN yang didapat oleh siswa itu bukan mencerminkan kualitas dan
usaha siswa dalam belajar, namun mencerminkan tingkat “keberhasilan” oknum guru
dalam melakukan kecurangan UN dengan predikat “memuaskan” hati sang guru.
Ternyata memang benar, dunia pendidikan kita tidak dikotori oleh orang lain,
namun oleh kaum pendidiknya sendiri.
Kalo ditinjau lebih jauh tentang faktor penyebab banyaknya oknum guru melakukan
berbagai kasus yang mencemari dunia pendidikan di Indonesia ini sebenarnya ada
dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
misalnya berupa karakter, perasaan takut dan pesimis dan masalah pribadi
sedangkan faktor eksternal misalnya berupa tekanan dari pihak luar. Contohnya
kasus guru yang memukuli murid hingga menderita itu bisa saja disebabkan oleh
karakter guru yang keras dan emosional serta tidak bisa bersikap sabar. Bisa
saja hanya karena sang murid tidak membuat PR atau karena daya tangkap sang
murid rendah terhadap pelajaran yang diajarkan walaupun sudah diajar
berkali-kali ini terkadang sering membuat guru itu menjadi marah dan kehabisan
kesabaran dan akhirnya memukul atau menganiaya murid tersebut. Masalah pribadi
juga mempengaruhi, misalnya mungkin saja guru sedang ada masalah rumah tangga
dan ketika masuk ke kelas, ada seorang siswa membuat kesalahan kecil. Ya,
karena pikiran sedang banyak masalah emosi pun terkadang gampang dimuntahkan.
Dan bukan hal yang tidak mungkin jika siswa yang membuat masalah kecil itu
menjadi sasaran pelampiasan emosi. Demikian halnya dengan perasaan takut dan
pesimis. Hal ini bisa kita lihat pada kasus oknum guru yang membocorkan soal
dan jawaban UN kepada siswanya. Hal ini bisa dipicu dengan rasa takut dan
pesimis terhadap kemampuan siswanya. Misalnya sang guru takut kalo nanti banyak
siswanya yang tidak lulus UN, dia divonis gagal mendidik siswanya, sehingga
untuk mengatasi kemungkinan ini, oknum guru bisa melakukan kecurangan seperti ini
aagr nantinya semua siswanya lulus UN dengan nilai memuaskan dan sang guru
mendapat predikat berhasil mengajar siswanya. Bagaimana dengan faktor eksternal
?Ya contohnya adalah tekanan dari penguasa atau atasan. Contohnya, banyak oknum
pejabat atau kepala daerah yang secara terselubung mengancam guru dan kepala
sekolah yang ada di daerahnya agar membantu siswa-siswanya dengan cara apapun
supaya semua lulus UN dengan nilai memuaskan. Jika semua siswa di daerah itu
lulus UN dengan nilai memuaskan, maka otomatis pujian akan mengalir ke pejabat
atau kepala daerah. Mereka akan dicap bahwa selama masa pemerintahannya
berhasil memajukan pendidikan di daerah tersebut sehingga ketika pemilihan
kepala daerah berikutnya dia bisa dicalonkan dan mendapat kepercayaan dari
rakyat. Sangat mungkin para oknum pejabat atau kepala daerah mengancam akan
memutasikan, menurunkan jabatan atau bahkan memecat sang guru atau kepala
sekolah jika tidak mau membantu meluluskan siswanya dalam UN dan jika ada
banyak siswa yang tidak lulus UN. Hal ini sudah tentu akan membuat posisi guru
bagaikan makan buah simalakama. Jika melakukan hal ini maka akan menodai citra
guru sebagai pendidik, namun jika tidak melakukan hal ini surat pemecatan telah
menantinya.
Ada beberapa solusi yang bisa ditawarkan untuk menanggulangi atau meminimalisir
masalah ini. Yaitu program induksi bagi guru pemula, pembenahan mental guru dan
pembuatan undang-undang. Program induksi untuk guru pemula adalah semacam
program orientasi lingkungan dan siswa bagi guru pemula sehingga nantinya dia
bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan siswanya. Misalnya bagaimana
cara menghadapi sekolah dengan lingkungan siswanya yang nakal dan lambat
belajar. Dengan demikian maka sang guru nantinya akan siap untuk mengajar di
sekolah tersebut. Untuk pihak yang dijadikan mentor adalah kepala sekolah dan
guu senior di sekolah ini. Jika guru pemula ini tidak lulus program induksi,
maka dia tidak layak menjadi guru dan tugasnya akan dialihakan. Kemudian untuk
pembenahan mental bisa dilakukan dengan cara memberikan pendidikan karakter
untuk guru agar nantinya setiap guru benar-benar mempunyai karakter seperti
seorang guru. Bimbingan Konseling (BK) yang ada di setiap sekolah pun bisa
dioptimalkan dalam rangka pembenahan mental guru. Misalnya sebelum masuk ke
kelas untuk mengajar, guru sebaiknya masuk ke ruang BK terlebih dahulu untuk
melakukan konseling, bercerita tentang kondisinya saat ini serta
masalah-masalah yang dihadapi. Nantinya pihak BK yang menentukan apakah sang
guru ini berhak atau tidak untuk masuk kelas dan mengajar. Kemudian mengenai
pembuatan undang-undang, sebaiknya pemerintah mulai membuat suatu
perundang-undangan tentang perlindungan guru. Karena selama ini belum ada
undang-undang yang mengatur hal tersebut. Sehingga ketika undang-undang ini
ada, guru bisa menjalankan tugasnya dengan optimal, netral dan tanpa tekanan
dari pihak manapun. Akhirnya, guru pun tidak perlu merasa takut ketika diancam
pemecatan oleh oknum pejabat, kepala daerah atau kepala sekolah karena tidak
mau “membantu” siswanya agar lulus UN dengan cara membocorkan jawaban UN.
Membocorkan jawaban UN bukan tugas guru. Kita berharap nantinya para
pendidik-pendidik kita tidak lagi mengotori dunia pendidikan Indonesia yang
notabene adalah “alam” mereka dan kita juga berharap pendidikan Indonesia ke
depan bisa mengalamai kemajuan yang signifikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar