Jumat, 23 November 2012

Pendidikan Kita Tidak Dikotori Oleh Orang Lain Namun Oleh Kaum Pendidiknya

klik dahulu ya


            Saat ini pendidikan di Indonesia sedang diwarnai berbagai kasus yang mengarah pada kasus criminal seperti pembocoran soal dan jawaban UN oleh oknum guru dan kepala sekolah, penganiayaan oknum guru kepada murid dan pemerkosaan murid oleh oknum guru dan kepala sekolahnya sendiri. Kasus-kasus ini sudah tentu berpengaruh terhadap citra pendidikan di Indonesia yang nanti muaranya akan mengarah kepada kualitas pendidikan.


            Jika ditelusuri lebih jauh, kasus-kasus di dunia pendidikan yang membuat pendidikan di Indonesia menjadi “kotor” sebenarnya disebabkan oleh orang-orang internal di dunia pendidikan itu sendiri (pendidik) dan bukan oleh orang lain. Misalnya kasus oknum guru dan kepala sekolah yang membocorkan soal dan jawaban UN kepada siswanya sendiri, oknum guru yang dengan tega melakukan penganiayaan fisik kepada muridnya sendiri hingga sang murid mengalami kerusakan fisik dan mental serta oknum guru dan kepala sekolah yang dengan tega mencabuli atau memperkosa siswinya sendiri. Hal ini sudah barang tentu akan membuat citra para pendidik di Indonesia menjadi rusak. Apalagi pendidik itu merupakan salah satu penentu keberhasilan proses pendidikan. Selain itu pendidik pun sebenarnya merupakan sosok yang pantas untuk diteladani dan ditiru oleh murid-muridnya sendiri.

            Efek dari kasus-kasus pencemaran dunia pendidikan yang dilakukan oleh kaum pendidik ini sudah tentu mengarah ke hal-hal negatif dan bukan tidak mungkin akan berpengaruh oleh siswanya sendiri. Misalnya kasus oknum guru yang memperkosa muridnya sendiri, bisa jadi hal ini akan ditiru oleh siswa sendiri dan bahkan oleh siswa yang mendengar cerita ini. Seperti kata pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Apapun tindakan yang dilakukan oleh guru, akan ditiru oleh siswa-siswanya. Akhirnya, sekarang timbul banyak kasus yang diberitakan oleh media massa yang menyatakan bahwa banyak oknum siswa yang melakukan tindakan pemerkosaan dan pencabulan kepada temannya dan orang lain di sekitarnya. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh mind set siswa yang menyatakan “ah guru saja boleh melakukan pemerkosaan dan pencabulan murid. Massa saya sebagai murid tidak boleh melakukan itu. Bukannya, saya di sekolah diajarkan untuk menuruti apa yang dikatakan dan diperbuat oleh guru saya”. Andai saja semua siswa di Indonesia mendengar berita tentang kasus pencabulan guru kepada muridnya sendiri dan semua siswa di Indonesia juga punya kesamaan mind set yang seperti itu, maka cita-cita pendidikan Indonesia yang ingin membentuk manusia Indonesia seutuhnya akan berubah arah menjadi membentuk manusia pemerkosa sejati. Demikian halnya dengan kasus maraknya oknum guru dan kepala sekolah yang membocorkan soal dan jawaban UN kepada siswanya sendiri, agar nantinya sang guru mendapat pujian bahwa dirinya telah sukses mendidik siswanya dan berhasil lulus dengan nilai yang memuaskan. Hal ini juga akan berdampak buruk pada mental dan moral siswa tersebut. Bisa saja siswa berpikir “buat apa saya belajar bersungguh-sungguh, toh juga nanti UN saya dibantu oleh guru saya dan saya pasti lulus”. Pemikiran yang seperti ini tentu akan berpengaruh kepada motivasi belajar siswa menjadi menurun. Motivasi belajar menurun, maka otomatis niat belajar tidak ada. Niat belajar yang tinggi adalah salah satu faktor penentu keberhasilan proses belajar. Proses belajar yang baik sangat menentukan keberhasilan proses pendidikan, karena esensi dari sebuah pendidikan adalah belajar. Berarti jika motivasi belajar siswa menurun, keberhasilan proses pendidikan terhambat. Muaranya dengan terhambatnya proses pendidikan maka kualitas pendidikan menjadi tidak baik. Jika saja, semua guru di Indonesia melakukan kecurangan yang seperti itu dalam UN, berarti nilai-nilai akhir UN yang didapat oleh setiap siswa di Indonesia adalah sebuah kepalsuan dan tidak mencerminkan kualitas. Sebuah fakta yang mengejutkan pernah ditemukan oleh penulis sendiri, bahwa ada seorang siswa ketika SMP, nilai UN mata pelajaran Matematika mendapat nilai sempurna yaitu 10. Namun ketika dia sudah menginjak SMA, kebetulan dia mendapat kesempatan oleh guru matematika untuk mengerjakan sebuah soal tentang persamaan kuadrat, dia sama sekali tidak mengetahui mana yang disebut dengan sumbu X dan sumbu Y pada diagram Cartesius. Gurunya pun hanya bisa menggeleng kepala ketika setelah ditanya kepada sang murid tentang nilai UN Matematika yang mendapat nilai 10. Padahal kita ketahui bahwa pelajaran tentang sumbu X dan sumbu Y dalam diagram Cartesius itu sudah dipelajari ketika masih di bangku Sekolah Dasar. Inilah yang menjadi bukti bahwa nilai UN yang didapat oleh siswa itu bukan mencerminkan kualitas dan usaha siswa dalam belajar, namun mencerminkan tingkat “keberhasilan” oknum guru dalam melakukan kecurangan UN dengan predikat “memuaskan” hati sang guru. Ternyata memang benar, dunia pendidikan kita tidak dikotori oleh orang lain, namun oleh kaum pendidiknya sendiri.

            Kalo ditinjau lebih jauh tentang faktor penyebab banyaknya oknum guru melakukan berbagai kasus yang mencemari dunia pendidikan di Indonesia ini sebenarnya ada dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal misalnya berupa karakter, perasaan takut dan pesimis dan masalah pribadi sedangkan faktor eksternal misalnya berupa tekanan dari pihak luar. Contohnya kasus guru yang memukuli murid hingga menderita itu bisa saja disebabkan oleh karakter guru yang keras dan emosional serta tidak bisa bersikap sabar. Bisa saja hanya karena sang murid tidak membuat PR atau karena daya tangkap sang murid rendah terhadap pelajaran yang diajarkan walaupun sudah diajar berkali-kali ini terkadang sering membuat guru itu menjadi marah dan kehabisan kesabaran dan akhirnya memukul atau menganiaya murid tersebut. Masalah pribadi juga mempengaruhi, misalnya mungkin saja guru sedang ada masalah rumah tangga dan ketika masuk ke kelas, ada seorang siswa membuat kesalahan kecil. Ya, karena pikiran sedang banyak masalah emosi pun terkadang gampang dimuntahkan. Dan bukan hal yang tidak mungkin jika siswa yang membuat masalah kecil itu menjadi sasaran pelampiasan emosi. Demikian halnya dengan perasaan takut dan pesimis. Hal ini bisa kita lihat pada kasus oknum guru yang membocorkan soal dan jawaban UN kepada siswanya. Hal ini bisa dipicu dengan rasa takut dan pesimis terhadap kemampuan siswanya. Misalnya sang guru takut kalo nanti banyak siswanya yang tidak lulus UN, dia divonis gagal mendidik siswanya, sehingga untuk mengatasi kemungkinan ini, oknum guru bisa melakukan kecurangan seperti ini aagr nantinya semua siswanya lulus UN dengan nilai memuaskan dan sang guru mendapat predikat berhasil mengajar siswanya. Bagaimana dengan faktor eksternal ?Ya contohnya adalah tekanan dari penguasa atau atasan. Contohnya, banyak oknum pejabat atau kepala daerah yang secara terselubung mengancam guru dan kepala sekolah yang ada di daerahnya agar membantu siswa-siswanya dengan cara apapun supaya semua lulus UN dengan nilai memuaskan. Jika semua siswa di daerah itu lulus UN dengan nilai memuaskan, maka otomatis pujian akan mengalir ke pejabat atau kepala daerah. Mereka akan dicap bahwa selama masa pemerintahannya berhasil memajukan pendidikan di daerah tersebut sehingga ketika pemilihan kepala daerah berikutnya dia bisa dicalonkan dan mendapat kepercayaan dari rakyat. Sangat mungkin para oknum pejabat atau kepala daerah mengancam akan memutasikan, menurunkan jabatan atau bahkan memecat sang guru atau kepala sekolah jika tidak mau membantu meluluskan siswanya dalam UN dan jika ada banyak siswa yang tidak lulus UN. Hal ini sudah tentu akan membuat posisi guru bagaikan makan buah simalakama. Jika melakukan hal ini maka akan menodai citra guru sebagai pendidik, namun jika tidak melakukan hal ini surat pemecatan telah menantinya.

            Ada beberapa solusi yang bisa ditawarkan untuk menanggulangi atau meminimalisir masalah ini. Yaitu program induksi bagi guru pemula, pembenahan mental guru dan pembuatan undang-undang. Program induksi untuk guru pemula adalah semacam program orientasi lingkungan dan siswa bagi guru pemula sehingga nantinya dia bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan siswanya. Misalnya bagaimana cara menghadapi sekolah dengan lingkungan siswanya yang nakal dan lambat belajar. Dengan demikian maka sang guru nantinya akan siap untuk mengajar di sekolah tersebut. Untuk pihak yang dijadikan mentor adalah kepala sekolah dan guu senior di sekolah ini. Jika guru pemula ini tidak lulus program induksi, maka dia tidak layak menjadi guru dan tugasnya akan dialihakan. Kemudian untuk pembenahan mental bisa dilakukan dengan cara memberikan pendidikan karakter untuk guru agar nantinya setiap guru benar-benar mempunyai karakter seperti seorang guru. Bimbingan Konseling (BK) yang ada di setiap sekolah pun bisa dioptimalkan dalam rangka pembenahan mental guru. Misalnya sebelum masuk ke kelas untuk mengajar, guru sebaiknya masuk ke ruang BK terlebih dahulu untuk melakukan konseling, bercerita tentang kondisinya saat ini serta masalah-masalah yang dihadapi. Nantinya pihak BK yang menentukan apakah sang guru ini berhak atau tidak untuk masuk kelas dan mengajar. Kemudian mengenai pembuatan undang-undang, sebaiknya pemerintah mulai membuat suatu perundang-undangan tentang perlindungan guru. Karena selama ini belum ada undang-undang yang mengatur hal tersebut. Sehingga ketika undang-undang ini ada, guru bisa menjalankan tugasnya dengan optimal, netral dan tanpa tekanan dari pihak manapun. Akhirnya, guru pun tidak perlu merasa takut ketika diancam pemecatan oleh oknum pejabat, kepala daerah atau kepala sekolah karena tidak mau “membantu” siswanya agar lulus UN dengan cara membocorkan jawaban UN. Membocorkan jawaban UN bukan tugas guru. Kita berharap nantinya para pendidik-pendidik kita tidak lagi mengotori dunia pendidikan Indonesia yang notabene adalah “alam” mereka dan kita juga berharap pendidikan Indonesia ke depan bisa mengalamai kemajuan yang signifikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar