Jumat, 23 November 2012

Aku dan Dunia Contek - Mencontek

klik dahulu ya



“Setitik langkah untuk berubah dan berbuah”
Geram, aku mendengar wacana perubahan dari berbagai pihak dan kalangan. Katanya, mau membenahi ini dan itu. Tetapi, semua sekadar wacana tanpa ada aksi nyata. Dunia pendidikan yang seharusnya membentuk karakter bangsa telah kehilangan arah. Karena faktanya, diri ini melihat dan merasakan esensi pendidikan belum sesuai tujuan pendidikan nasional.

Sekolah sebagai institusi pendidikan lebih fokus pada kecerdasan otak (IQ)tanpa adanya keseimbangan dengan kecerdasan emosional (EQ). Parahnya lagi, sekolah justru memberi pengondisian untuk berpaling dari nilai - nilai budaya dan karakter bangsa. Kecerdasan otak berbanding terbalik dengan kecerdasan moral dan akhlak. Contoh sederhana yaitu celah - celah korupsi di sekolah. Hal itu terlukiskan lewat tingkah laku para pendidik maupun pelajar atau mahasiswa. Disini saya tak ingin menghakimi siapapun. Nilai - nilai budaya karakter bangsa seperti jujur dan religius terpampang jelas di setiap kelas. Namun, tak ada perubahan. Buktinya masih banyak saja siswa – siswi yang mencontek. Pengalaman membuktikan.  
Motivasi untuk menjadi teladan, memberiku keberanian untuk menuliskan segenggam asa yang terpendam. Awalnya tak terpikir untuk mengambil komitmen"berhenti mencontek" . Sebuah pelatihan kepemimpinan mengubah paradigma di hidupku. Gelar "duta muda anti korupsi" dari sebuah lembaga independen mengarahkanku untuk peduli terhadap persoalan krusial tersebut. Aku percaya, sekecil apapun aksi yang dilakukan pasti berarti. Tak ada yang sia – sia dalam setiap perjuangan. Aku memang belum bisa untuk menyadarkan para “rayap negara”. Tetapi, minimal aku harus menyadarkan diri ini dahulu dan orang – orang di sekitarku.  
Besar kerinduanku untuk berhenti mencontek dan tidak memberi contekan. Tetapi, hingga detik ini belum bisa untuk tidak memberi contekan. Sungguh aku malu terhadap gelar yang telah aku dapatkan. Aku ingin menjadi teladan. Bagaimana caranya. Aku harus tegas. Bagaimana mau menjadi teladan. Jika diri ini masih bersemayam dalam "dunia contek - mencontek". Mungkin, sebagian diantara kita mengangap ini biasa. Tetapi, bagiku ini adalah perkara luarbiasa. Karena, para pelaku tidak merasa berdosa. Seolah - olah, mencontek itu adalah hal yang lumrah. Sah - sah saja. Secara tidak langsung, mencontek dilegalkan oleh banyak pihak yang mengambil keuntungan. Atas nama “persahabatan”, terkadang aku memberi contekan. Ini tak bisa dibiarkan. Korupsi sekecil apapun itu tidak bisa dibiarkan. Bukankah mecontek adalah bibit – bibit awal korupsi.
Bagaimana bangsa ini mau maju, jika pelajar telah jatuh cinta pada dunia"contek-mencontek". Dengan bangga mencuri hasil kecerdasan orang lain. Dimana peran sekolah dalam menetaskan kasus ini. Pelajar kita telah kehilangan arah. Parahnya lagi, tak ada contoh sosok yang baik di depan matanya. Andai saja, aku bisa menjadi teladan. Kusadari, sebelum merubah orang lain aku harus instropeksi diri. Aku pun membuat komitmen antara diriku dan Tuhan untuk tidak mencontek. Kiranya, Sang Pencipta menguatkan hati ini untuk berjalan selaras dengan kebenaran. Berhenti mengikuti arus sesat “contek – mencontek”.  Perlahan tapi pasti, aku pasti bisa. Kucoba, serahkan semua pada Sang Kuasa. Aku percaya, Ia akan menolong umatNya bangkit dari dosa. Awalnya terasa berat. Godaan dan rintangan silih berganti. Namun semua akan menjadi mudah ketika aku bersedia melalui jalan itu.
Tatkala, aku menulis ini. Tiba – tiba teringat pengalaman Ujian Nasional (UN) 3 tahun yang lalu. Tepatnya, ketika diri ini kelas 3 SMP (Sekolah Menengah Pertama). Bocoran jawaban UN di depan mata. Sempat terpikir, untuk menerimanya. Namun, tidak jadi. Aku telah belajar dan berdoa untuk menghadapi ujian itu. Jika aku menerima bocoran itu, sama saja aku menjual harga diriku dengan sekotak kebahagian semu. Aku juga mengingkari Kebesaran Tuhan dan mempermainkan-Nya. Buat apa kita berdoa sebelum UN, jika pada kenyataanya kita mengandalkan kekuatan “bocoran jawaban”.Berdoa kepada Tuhan, tetapi kok meminta jawaban pada setan. Mencontek, mengandalkan bintang kelas, atau “bocoran jawaban” merupakan ciri pengingkaran kita terhadap Dia. Jika memilih jalan sesat itu, lebih baik tidak usah berdoa. Akhirnya, dengan tegas aku menolak “bocoran jawaban” itu.
Berangkat dari pengalaman itu, kucoba untuk menerapkannya di dunia pendidikan yang kini kujalani. Aku tidak boleh berhenti sampai disini. Aku juga tidak boleh memberi contekan. Bukan…bukannya kau pelit. Aku hanya ingin mengirit dosa. Dengan memberi contekan, berarti aku telah membiarkan orang lain jatuh ke dalam dosa. Hanya orang jahat yang akan membiarkan kejahatan ada di depan matanya. Bukan hanya dia yang berdosa, tetapi aku si pemberi contekan juga ikut berdosa. Tidak memberi contekan lebih rumit daripada tidak mencontek. Karena, ada dua pihak yang harus dijaga. Ada perasaan orang lain yang sulit untuk diberi pengertian. Tidak semua temanku mengerti keputusan ini. Bahkan untuk memberi pengertian pada teman akrab pun sulit. Kuyakinkan diri untuk berkomitmen dengan teman sebangku, namanya Regari Fuji.
“Jika aku bertanya, tolong JANGAN dijawab”
Yah, ketika ulangan tiba kalimat ini terekam dalam memori hatiku.  Semoga saja, ia juga merekamnya dalam memori hati nurani. Maksudnya disini adalah bertanya jawaban atau cara menyelesaikan soal dalam setiap ulangan. Tidak boleh ada diskusi dalam ulangan.
“Maaf, aku tak bisa menjawab pertanyaanmu dalam ulangan”
Kalimat ini berarti aku tidak akan memberikan dia contekan ketika ulangan. Aku berharap ia mengerti. Hasratku ingin berubah dan berbuah menjadi pribadi yang lebih jujur harus tergambar di setiap ucapan dan tindakan.
“Ntar, kalo ulangan umum aku puasa Jen”
Begitulah kata temanku Regari. Ia berusaha menghindari memberi contekan pada teman dengan berpuasa. Biasanya, teman – teman akan mengerti dan menyerah untuk bertanya pada orang yang sedang berpuasa. Menyerah secara terpaksa dengan muka kesal. Apalagi mengingat temanku itu adalah seorang muslim yang taat. Bagaimana dengan diriku. Aku tak bisa memakai senjata “puasa” sepertinya. Karena, cara itu telah kucoba. Namun, belum berhasil. Tak ada yang percaya, aku sedang berpuasa. Pasalnya, aku seorang Nasrani. Menurut mereka, jarang orang Nasrani berpuasa. Padahal, faktanya tidak seperti itu. Menyadari keadaan di sekeliling, aku mencurahkan isi hati  ini pada Tuhan yang Maha Esa. Aku tak bisa mengandalkan puasa untuk tidak memberi contekan. Aku harus memiliki pagar perlindungan yang tak terpatahkan. Dalam setiap keadaan aku harus mennjadi teladan.
Sekarang, aku mungkin dikenal pelit karena tidak memberi contekan. Menutup telinga rapat – rapat ketika ulangan tiba. Mengumpulkan hasil ulangan tanpa memikirkan nasib teman – teman yang belum selesai ulangan. Tetapi, aku percaya suatu waktu mereka pasti mengerti esensi tindakanku hari ini. Perubahan tak boleh ditunda – tunda. Jika hari ini bisa, mengapa harus menunggu esok. Aku harus berusaha memberi pengertian bukan dengan kata – kata. Namun lewat sikap yang menetas dalam realita.
Semoga saja. Kita terjaga dari perbuatan tidak terpuji ini. Berjuanglah kawan, untuk mempertahankan kebenaran. Jika yah, katakan yah. Jika tidak, katakan tidak. Selamat berjuang. Ini semua demi dirimu, demi keluargamu dan demi bangsamu. Bersedialah untuk melakukannya.
Dari sebutir debu yang ingin berubah dan berbuah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar