“Setitik langkah untuk
berubah dan berbuah”
Geram, aku mendengar wacana
perubahan dari berbagai pihak dan kalangan. Katanya, mau membenahi ini dan itu.
Tetapi, semua sekadar wacana tanpa ada aksi nyata. Dunia pendidikan yang
seharusnya membentuk karakter bangsa telah kehilangan arah. Karena faktanya,
diri ini melihat dan merasakan esensi pendidikan belum sesuai tujuan pendidikan
nasional.
Sekolah sebagai institusi
pendidikan lebih fokus pada kecerdasan otak (IQ)tanpa adanya
keseimbangan dengan kecerdasan emosional (EQ). Parahnya lagi,
sekolah justru memberi pengondisian untuk berpaling dari nilai - nilai budaya
dan karakter bangsa. Kecerdasan otak berbanding terbalik dengan kecerdasan
moral dan akhlak. Contoh sederhana yaitu celah - celah korupsi di sekolah. Hal
itu terlukiskan lewat tingkah laku para pendidik maupun pelajar atau mahasiswa.
Disini saya tak ingin menghakimi siapapun. Nilai - nilai budaya karakter bangsa
seperti jujur dan religius terpampang jelas di setiap kelas. Namun, tak ada
perubahan. Buktinya masih banyak saja siswa – siswi yang mencontek. Pengalaman
membuktikan.
Motivasi untuk menjadi
teladan, memberiku keberanian untuk menuliskan segenggam asa yang terpendam.
Awalnya tak terpikir untuk mengambil komitmen"berhenti mencontek" .
Sebuah pelatihan kepemimpinan mengubah paradigma di hidupku. Gelar "duta
muda anti korupsi" dari sebuah lembaga independen mengarahkanku
untuk peduli terhadap persoalan krusial tersebut. Aku percaya, sekecil apapun
aksi yang dilakukan pasti berarti. Tak ada yang sia – sia dalam setiap
perjuangan. Aku memang belum bisa untuk menyadarkan para “rayap
negara”. Tetapi, minimal aku harus menyadarkan diri ini dahulu dan
orang – orang di sekitarku.
Besar kerinduanku untuk
berhenti mencontek dan tidak memberi contekan. Tetapi, hingga detik ini belum
bisa untuk tidak memberi contekan. Sungguh aku malu terhadap gelar yang telah
aku dapatkan. Aku ingin menjadi teladan. Bagaimana caranya. Aku harus tegas.
Bagaimana mau menjadi teladan. Jika diri ini masih bersemayam dalam "dunia
contek - mencontek". Mungkin, sebagian diantara kita mengangap ini
biasa. Tetapi, bagiku ini adalah perkara luarbiasa. Karena, para pelaku tidak
merasa berdosa. Seolah - olah, mencontek itu adalah hal yang lumrah. Sah - sah
saja. Secara tidak langsung, mencontek dilegalkan oleh banyak pihak yang
mengambil keuntungan. Atas nama “persahabatan”, terkadang aku memberi
contekan. Ini tak bisa dibiarkan. Korupsi sekecil apapun itu tidak bisa
dibiarkan. Bukankah mecontek adalah bibit – bibit awal korupsi.
Bagaimana bangsa ini mau
maju, jika pelajar telah jatuh cinta pada dunia"contek-mencontek".
Dengan bangga mencuri hasil kecerdasan orang lain. Dimana peran sekolah dalam
menetaskan kasus ini. Pelajar kita telah kehilangan arah. Parahnya lagi, tak
ada contoh sosok yang baik di depan matanya. Andai saja, aku bisa menjadi
teladan. Kusadari, sebelum merubah orang lain aku harus instropeksi diri. Aku
pun membuat komitmen antara diriku dan Tuhan untuk tidak mencontek. Kiranya,
Sang Pencipta menguatkan hati ini untuk berjalan selaras dengan kebenaran.
Berhenti mengikuti arus sesat “contek – mencontek”. Perlahan tapi
pasti, aku pasti bisa. Kucoba, serahkan semua pada Sang Kuasa. Aku percaya, Ia
akan menolong umatNya bangkit dari dosa. Awalnya terasa berat. Godaan dan
rintangan silih berganti. Namun semua akan menjadi mudah ketika aku bersedia
melalui jalan itu.
Tatkala, aku menulis ini.
Tiba – tiba teringat pengalaman Ujian Nasional (UN) 3 tahun
yang lalu. Tepatnya, ketika diri ini kelas 3 SMP (Sekolah Menengah Pertama).
Bocoran jawaban UN di depan mata. Sempat terpikir, untuk
menerimanya. Namun, tidak jadi. Aku telah belajar dan berdoa untuk menghadapi
ujian itu. Jika aku menerima bocoran itu, sama saja aku menjual harga diriku
dengan sekotak kebahagian semu. Aku juga mengingkari Kebesaran Tuhan dan
mempermainkan-Nya. Buat apa kita berdoa sebelum UN, jika pada kenyataanya kita
mengandalkan kekuatan “bocoran jawaban”.Berdoa kepada Tuhan, tetapi kok meminta
jawaban pada setan. Mencontek, mengandalkan bintang kelas, atau “bocoran
jawaban” merupakan ciri pengingkaran kita terhadap Dia. Jika memilih
jalan sesat itu, lebih baik tidak usah berdoa. Akhirnya, dengan tegas aku
menolak “bocoran jawaban” itu.
Berangkat dari pengalaman
itu, kucoba untuk menerapkannya di dunia pendidikan yang kini kujalani. Aku
tidak boleh berhenti sampai disini. Aku juga tidak boleh memberi contekan.
Bukan…bukannya kau pelit. Aku hanya ingin mengirit dosa.
Dengan memberi contekan, berarti aku telah membiarkan orang lain jatuh ke dalam
dosa. Hanya orang jahat yang akan membiarkan kejahatan ada di depan matanya.
Bukan hanya dia yang berdosa, tetapi aku si pemberi contekan juga ikut berdosa.
Tidak memberi contekan lebih rumit daripada tidak mencontek. Karena, ada dua
pihak yang harus dijaga. Ada perasaan orang lain yang sulit untuk diberi
pengertian. Tidak semua temanku mengerti keputusan ini. Bahkan untuk memberi pengertian
pada teman akrab pun sulit. Kuyakinkan diri untuk berkomitmen dengan teman
sebangku, namanya Regari Fuji.
“Jika aku bertanya, tolong
JANGAN dijawab”
Yah, ketika ulangan tiba
kalimat ini terekam dalam memori hatiku. Semoga saja, ia juga merekamnya
dalam memori hati nurani. Maksudnya disini adalah bertanya jawaban atau cara
menyelesaikan soal dalam setiap ulangan. Tidak boleh ada diskusi dalam ulangan.
“Maaf, aku tak bisa
menjawab pertanyaanmu dalam ulangan”
Kalimat ini berarti aku
tidak akan memberikan dia contekan ketika ulangan. Aku berharap ia mengerti.
Hasratku ingin berubah dan berbuah menjadi
pribadi yang lebih jujur harus tergambar di setiap ucapan dan tindakan.
“Ntar, kalo ulangan umum
aku puasa Jen”
Begitulah kata temanku
Regari. Ia berusaha menghindari memberi contekan pada teman dengan berpuasa.
Biasanya, teman – teman akan mengerti dan menyerah untuk bertanya pada orang
yang sedang berpuasa. Menyerah secara terpaksa dengan muka kesal. Apalagi
mengingat temanku itu adalah seorang muslim yang taat. Bagaimana dengan diriku.
Aku tak bisa memakai senjata “puasa” sepertinya. Karena, cara
itu telah kucoba. Namun, belum berhasil. Tak ada yang percaya, aku sedang
berpuasa. Pasalnya, aku seorang Nasrani. Menurut mereka, jarang orang Nasrani
berpuasa. Padahal, faktanya tidak seperti itu. Menyadari keadaan di sekeliling,
aku mencurahkan isi hati ini pada Tuhan yang Maha Esa. Aku tak bisa
mengandalkan puasa untuk tidak memberi contekan. Aku harus memiliki pagar
perlindungan yang tak terpatahkan. Dalam setiap keadaan aku harus mennjadi
teladan.
Sekarang, aku mungkin
dikenal pelit karena tidak memberi contekan. Menutup telinga rapat – rapat
ketika ulangan tiba. Mengumpulkan hasil ulangan tanpa memikirkan nasib teman –
teman yang belum selesai ulangan. Tetapi, aku percaya suatu waktu mereka pasti
mengerti esensi tindakanku hari ini. Perubahan tak boleh ditunda – tunda. Jika
hari ini bisa, mengapa harus menunggu esok. Aku harus berusaha memberi
pengertian bukan dengan kata – kata. Namun lewat sikap yang menetas dalam
realita.
Semoga saja. Kita terjaga
dari perbuatan tidak terpuji ini. Berjuanglah kawan, untuk mempertahankan
kebenaran. Jika yah, katakan yah. Jika tidak, katakan tidak. Selamat berjuang.
Ini semua demi dirimu, demi keluargamu dan demi bangsamu. Bersedialah untuk
melakukannya.
Dari sebutir debu yang
ingin berubah dan berbuah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar