Jumat, 23 November 2012

Methodik Ausbildung fűr DeutschlehrerInnen Theorien

klik dahulu ya


Allgemeine Theorie von Fremdsprachenlernen
  • Die Konstruktionregeln verstehen und anwenden können.  Dies ist ein kognitives Lernkonzept.  Sprachenlernen bedeutet formale Geistesschulung, Erziehung zu ordnendem Denken
  • Zum Sprechen/Kommunikationsfähigkeit
  •  Das Vermögen der Lerner,Äuβerungen adressatengerecht im sozialen Interaktionsprozeβ so zu verwenden, daβ eine Verständigung gewährleistet ist. 

Sprechenlernen
Es ist sehr bedeutsam,
o  dass der Lerner nicht die Äuβerungen von sich gibt, die er in der fremden Sprache ausdrücken kann, sondern die auch tatsächlich ausdrücken will.
dass die Wörter, die am häufigsten gebraucht werden, den Grundwortschatz für den Fremdsprachenlerner bilden sollten
Unterrichtsplanung
Wer kommuniziert …
  1. mit wem?
  2. In welcher Situation?
  3. als was? (Rolle)
  4. worüber?
  5. mit welchem Absichten?
  6. mit welchen Redemitteln?
Mit wem? und als was?
o  als Freund
            als Tourist
            als Auskunftsuchender
            als Erklärer
            als Einladender
            usw

o  mit einer Freundin
            mit einem Freunden
            mit einem Lehrer
            mit einem Familienangehörigen
            mit einen offiziellen Personen
            usw






In welcher Situation
o  Betriff sowohl den geograpischen Ort, die Zeit, den gesell-schaftlichen und sachlichen Kontext, z.B. im Strassenverkehr in einer Firma oder bei Freunden, im Unterricht, bei einer Veranstaltung etxc
Worüber? und Mit welchen Absichten
o  Umgreift den Gesprächsgegenstand, die kommunikative Ab-sicht, Redestrategien und Sprachintentionen: z.B. Fragen, Er-klären, Beantworten, Auskunft geben, jemanden überzeugen/ oder überreden, jemanden informieren, sich bei jemanden entschuldigen.
Mit welchen Redemitteln?
o  Die Äuβerung wird immer in einem sozialen Kontext ausge-drückt.
z.B. Um jemanden zu veranlassen, mir etwas zu holen, stehen mir verschiedene Muster zur Verfügung:
            “Holen Sie das”, “Holen Sie mir das bitte”, “Könnten Sie mir das holen”, ‘Ich brauche das”.

Pendidikan Kita Tidak Dikotori Oleh Orang Lain Namun Oleh Kaum Pendidiknya

klik dahulu ya


            Saat ini pendidikan di Indonesia sedang diwarnai berbagai kasus yang mengarah pada kasus criminal seperti pembocoran soal dan jawaban UN oleh oknum guru dan kepala sekolah, penganiayaan oknum guru kepada murid dan pemerkosaan murid oleh oknum guru dan kepala sekolahnya sendiri. Kasus-kasus ini sudah tentu berpengaruh terhadap citra pendidikan di Indonesia yang nanti muaranya akan mengarah kepada kualitas pendidikan.


            Jika ditelusuri lebih jauh, kasus-kasus di dunia pendidikan yang membuat pendidikan di Indonesia menjadi “kotor” sebenarnya disebabkan oleh orang-orang internal di dunia pendidikan itu sendiri (pendidik) dan bukan oleh orang lain. Misalnya kasus oknum guru dan kepala sekolah yang membocorkan soal dan jawaban UN kepada siswanya sendiri, oknum guru yang dengan tega melakukan penganiayaan fisik kepada muridnya sendiri hingga sang murid mengalami kerusakan fisik dan mental serta oknum guru dan kepala sekolah yang dengan tega mencabuli atau memperkosa siswinya sendiri. Hal ini sudah barang tentu akan membuat citra para pendidik di Indonesia menjadi rusak. Apalagi pendidik itu merupakan salah satu penentu keberhasilan proses pendidikan. Selain itu pendidik pun sebenarnya merupakan sosok yang pantas untuk diteladani dan ditiru oleh murid-muridnya sendiri.

            Efek dari kasus-kasus pencemaran dunia pendidikan yang dilakukan oleh kaum pendidik ini sudah tentu mengarah ke hal-hal negatif dan bukan tidak mungkin akan berpengaruh oleh siswanya sendiri. Misalnya kasus oknum guru yang memperkosa muridnya sendiri, bisa jadi hal ini akan ditiru oleh siswa sendiri dan bahkan oleh siswa yang mendengar cerita ini. Seperti kata pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Apapun tindakan yang dilakukan oleh guru, akan ditiru oleh siswa-siswanya. Akhirnya, sekarang timbul banyak kasus yang diberitakan oleh media massa yang menyatakan bahwa banyak oknum siswa yang melakukan tindakan pemerkosaan dan pencabulan kepada temannya dan orang lain di sekitarnya. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh mind set siswa yang menyatakan “ah guru saja boleh melakukan pemerkosaan dan pencabulan murid. Massa saya sebagai murid tidak boleh melakukan itu. Bukannya, saya di sekolah diajarkan untuk menuruti apa yang dikatakan dan diperbuat oleh guru saya”. Andai saja semua siswa di Indonesia mendengar berita tentang kasus pencabulan guru kepada muridnya sendiri dan semua siswa di Indonesia juga punya kesamaan mind set yang seperti itu, maka cita-cita pendidikan Indonesia yang ingin membentuk manusia Indonesia seutuhnya akan berubah arah menjadi membentuk manusia pemerkosa sejati. Demikian halnya dengan kasus maraknya oknum guru dan kepala sekolah yang membocorkan soal dan jawaban UN kepada siswanya sendiri, agar nantinya sang guru mendapat pujian bahwa dirinya telah sukses mendidik siswanya dan berhasil lulus dengan nilai yang memuaskan. Hal ini juga akan berdampak buruk pada mental dan moral siswa tersebut. Bisa saja siswa berpikir “buat apa saya belajar bersungguh-sungguh, toh juga nanti UN saya dibantu oleh guru saya dan saya pasti lulus”. Pemikiran yang seperti ini tentu akan berpengaruh kepada motivasi belajar siswa menjadi menurun. Motivasi belajar menurun, maka otomatis niat belajar tidak ada. Niat belajar yang tinggi adalah salah satu faktor penentu keberhasilan proses belajar. Proses belajar yang baik sangat menentukan keberhasilan proses pendidikan, karena esensi dari sebuah pendidikan adalah belajar. Berarti jika motivasi belajar siswa menurun, keberhasilan proses pendidikan terhambat. Muaranya dengan terhambatnya proses pendidikan maka kualitas pendidikan menjadi tidak baik. Jika saja, semua guru di Indonesia melakukan kecurangan yang seperti itu dalam UN, berarti nilai-nilai akhir UN yang didapat oleh setiap siswa di Indonesia adalah sebuah kepalsuan dan tidak mencerminkan kualitas. Sebuah fakta yang mengejutkan pernah ditemukan oleh penulis sendiri, bahwa ada seorang siswa ketika SMP, nilai UN mata pelajaran Matematika mendapat nilai sempurna yaitu 10. Namun ketika dia sudah menginjak SMA, kebetulan dia mendapat kesempatan oleh guru matematika untuk mengerjakan sebuah soal tentang persamaan kuadrat, dia sama sekali tidak mengetahui mana yang disebut dengan sumbu X dan sumbu Y pada diagram Cartesius. Gurunya pun hanya bisa menggeleng kepala ketika setelah ditanya kepada sang murid tentang nilai UN Matematika yang mendapat nilai 10. Padahal kita ketahui bahwa pelajaran tentang sumbu X dan sumbu Y dalam diagram Cartesius itu sudah dipelajari ketika masih di bangku Sekolah Dasar. Inilah yang menjadi bukti bahwa nilai UN yang didapat oleh siswa itu bukan mencerminkan kualitas dan usaha siswa dalam belajar, namun mencerminkan tingkat “keberhasilan” oknum guru dalam melakukan kecurangan UN dengan predikat “memuaskan” hati sang guru. Ternyata memang benar, dunia pendidikan kita tidak dikotori oleh orang lain, namun oleh kaum pendidiknya sendiri.

            Kalo ditinjau lebih jauh tentang faktor penyebab banyaknya oknum guru melakukan berbagai kasus yang mencemari dunia pendidikan di Indonesia ini sebenarnya ada dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal misalnya berupa karakter, perasaan takut dan pesimis dan masalah pribadi sedangkan faktor eksternal misalnya berupa tekanan dari pihak luar. Contohnya kasus guru yang memukuli murid hingga menderita itu bisa saja disebabkan oleh karakter guru yang keras dan emosional serta tidak bisa bersikap sabar. Bisa saja hanya karena sang murid tidak membuat PR atau karena daya tangkap sang murid rendah terhadap pelajaran yang diajarkan walaupun sudah diajar berkali-kali ini terkadang sering membuat guru itu menjadi marah dan kehabisan kesabaran dan akhirnya memukul atau menganiaya murid tersebut. Masalah pribadi juga mempengaruhi, misalnya mungkin saja guru sedang ada masalah rumah tangga dan ketika masuk ke kelas, ada seorang siswa membuat kesalahan kecil. Ya, karena pikiran sedang banyak masalah emosi pun terkadang gampang dimuntahkan. Dan bukan hal yang tidak mungkin jika siswa yang membuat masalah kecil itu menjadi sasaran pelampiasan emosi. Demikian halnya dengan perasaan takut dan pesimis. Hal ini bisa kita lihat pada kasus oknum guru yang membocorkan soal dan jawaban UN kepada siswanya. Hal ini bisa dipicu dengan rasa takut dan pesimis terhadap kemampuan siswanya. Misalnya sang guru takut kalo nanti banyak siswanya yang tidak lulus UN, dia divonis gagal mendidik siswanya, sehingga untuk mengatasi kemungkinan ini, oknum guru bisa melakukan kecurangan seperti ini aagr nantinya semua siswanya lulus UN dengan nilai memuaskan dan sang guru mendapat predikat berhasil mengajar siswanya. Bagaimana dengan faktor eksternal ?Ya contohnya adalah tekanan dari penguasa atau atasan. Contohnya, banyak oknum pejabat atau kepala daerah yang secara terselubung mengancam guru dan kepala sekolah yang ada di daerahnya agar membantu siswa-siswanya dengan cara apapun supaya semua lulus UN dengan nilai memuaskan. Jika semua siswa di daerah itu lulus UN dengan nilai memuaskan, maka otomatis pujian akan mengalir ke pejabat atau kepala daerah. Mereka akan dicap bahwa selama masa pemerintahannya berhasil memajukan pendidikan di daerah tersebut sehingga ketika pemilihan kepala daerah berikutnya dia bisa dicalonkan dan mendapat kepercayaan dari rakyat. Sangat mungkin para oknum pejabat atau kepala daerah mengancam akan memutasikan, menurunkan jabatan atau bahkan memecat sang guru atau kepala sekolah jika tidak mau membantu meluluskan siswanya dalam UN dan jika ada banyak siswa yang tidak lulus UN. Hal ini sudah tentu akan membuat posisi guru bagaikan makan buah simalakama. Jika melakukan hal ini maka akan menodai citra guru sebagai pendidik, namun jika tidak melakukan hal ini surat pemecatan telah menantinya.

            Ada beberapa solusi yang bisa ditawarkan untuk menanggulangi atau meminimalisir masalah ini. Yaitu program induksi bagi guru pemula, pembenahan mental guru dan pembuatan undang-undang. Program induksi untuk guru pemula adalah semacam program orientasi lingkungan dan siswa bagi guru pemula sehingga nantinya dia bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan siswanya. Misalnya bagaimana cara menghadapi sekolah dengan lingkungan siswanya yang nakal dan lambat belajar. Dengan demikian maka sang guru nantinya akan siap untuk mengajar di sekolah tersebut. Untuk pihak yang dijadikan mentor adalah kepala sekolah dan guu senior di sekolah ini. Jika guru pemula ini tidak lulus program induksi, maka dia tidak layak menjadi guru dan tugasnya akan dialihakan. Kemudian untuk pembenahan mental bisa dilakukan dengan cara memberikan pendidikan karakter untuk guru agar nantinya setiap guru benar-benar mempunyai karakter seperti seorang guru. Bimbingan Konseling (BK) yang ada di setiap sekolah pun bisa dioptimalkan dalam rangka pembenahan mental guru. Misalnya sebelum masuk ke kelas untuk mengajar, guru sebaiknya masuk ke ruang BK terlebih dahulu untuk melakukan konseling, bercerita tentang kondisinya saat ini serta masalah-masalah yang dihadapi. Nantinya pihak BK yang menentukan apakah sang guru ini berhak atau tidak untuk masuk kelas dan mengajar. Kemudian mengenai pembuatan undang-undang, sebaiknya pemerintah mulai membuat suatu perundang-undangan tentang perlindungan guru. Karena selama ini belum ada undang-undang yang mengatur hal tersebut. Sehingga ketika undang-undang ini ada, guru bisa menjalankan tugasnya dengan optimal, netral dan tanpa tekanan dari pihak manapun. Akhirnya, guru pun tidak perlu merasa takut ketika diancam pemecatan oleh oknum pejabat, kepala daerah atau kepala sekolah karena tidak mau “membantu” siswanya agar lulus UN dengan cara membocorkan jawaban UN. Membocorkan jawaban UN bukan tugas guru. Kita berharap nantinya para pendidik-pendidik kita tidak lagi mengotori dunia pendidikan Indonesia yang notabene adalah “alam” mereka dan kita juga berharap pendidikan Indonesia ke depan bisa mengalamai kemajuan yang signifikan.

Pendidikan untuk Mereka yang Tersisihkan

klik dahulu ya

Hembus angin sore mulai terasa menusuk tulang. Dingin. Letih sekali sejak tadi mengedarkan pandang ke kanan-kiri tak juga kutemukan alamat yang kucari. Pintu 
belakang angkot biru yang dibuka penuh membuat angin dengan leluasa memaksa bulu-bulu kulitku berdiri. Walaupun sudah dua tahun lebih aku tinggal di kota ini, tak pernah aku menghafal nama-namajalan.

Angkot yang kutumpangi berhenti sejenak di sebuah perempatan, menunggu lampu merah berganti warna. Dua anak kecil dengan kaos oblong hitam dan oranye, bawahan celana kolor selutut membunyikan ecek-eceknya lalu mulai mendendangkan sebuah lagu, entah lagu apa tak begitu jelas kudengar. Mereka sedikit kaget melihatku duduk manis dihadapannya.
“Loh mas, mau ke mana sampean mas? Nggak ke sini lagi ta mas?”
Tak hanya mereka, pun aku juga kaget bertemu anak-anak itu di sini. Memang ini hari sabtu, tapi aku tak ada rencana mengunjungi mereka sebenarnya. Sedikit tersenyum kubalas tatapan ramah mereka.
“Minggu depan insyaAllah. Gimana UTS mu? Belajar, ngamen aja kerjaannya!”
Belum sempat mereka menjawab, angkot sudah kembali berjalan.
“Aku duluan ya dik, jangan lupa minggu depan, ajak temen-temenmu yang banyak!”
Iya mas!”
Ah, sudah hampir dua minggu aku tak berjumpa mereka. Anak-anakSD yang menghabiskan separuh harinya mengamen di perempatan Kaliurang, Kota Malang. Selain mereka berdua, cukup banyak anak lainnya yang biasanya mangkal di sana dengan ditemani ibu mereka, ada juga yang sudah SMP. Yang tidak sekolah pun juga ada. Sebuah perempatan yang cukup ramai dan tak begitu jauh dari rumah mereka.
Biasanya tiap sabtu sore aku dan teman-teman mengunjungi mereka, belajar pelajaran akademik bersama atau berbagi pengetahuan tentang berbagai hal menarik yang kami ketahui entah dari sekolah, internet, buku, majalah, jurnal, dsb. Sekadar sharing, menyanyi bersama, atau bermain-main sekenanya yang penting bersama kita senang.   

Berawal dari community serviceyang merupakan program sekolah, sudah hampir setahun ini aku dan teman-teman menyempatkan waktu untuk mengunjungi mereka. Biasanya sekali dalam seminggu walaupun pada awalnya tidak terlalu sering. Sedikit mengenal mereka lebih dalam membuatku memahami sesuatu. Mereka, anak-anak itu ada di sana karena dengan begitu orangtua mereka merasa sangat terbantu ekonominya walaupun sebenarnya orangtua mereka juga masih prima fisiknya. Ibu mereka biasanya hanya duduk-duduk di emperan sebuah toko yang tutup, menjaga anak-anaknya agar tak ditangkap satpol pp atau dijahili anak jalanan lain yang lebih tua.
Maindset anak-anak itu pun berubah. Mereka yang awalnya sangat gemar bermain layaknya anak-anak pada umumnya, kemudian menjadi anak yang mata duitan. Mereka kena pengaruh pergaulan jalanan, bertemu anak-anak jalanan lain yang lebih tua, yang merokok, minum minuman keras, berkata kotor, mereka berbagi pengalaman nakal yang kemudian menginspirasi anak-anak itu untuk melakukan kenakalan itu.
Mereka sebenarnya anak yang baik, namun lingkungan mendidik mereka dengan kurang baik. Mulai dari lingkungan keluarga; orangtua yang kurang sadar akan pentingnya pendidikan baik pendidikan akhlak, karakter, maupun akademik, dan menganggap uang jauh lebih penting dari pendidikan anaknya. Lingkungan sekolah; guru yang kurang peduli atau perhatian kepada mereka karena memberikan kepedulian lebih pada keadaan murid tak akan berpengaruh pada gaji bulanannya. Juga lingkungan “bermain” yang tidak semestinya.
Akibatnya mereka menjadi anak-anak yang temperamen, tidak dapat berpikir visioner jernih dan terbuka layaknya anak-anak pada  umumnya, karena yang ada di pikirannya hanya mendapatkan uang dan uang saja. Mereka tidak mau berusaha keras untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan; hanya tinggal membunyikan ecek-ecek lalu menengadahkan tangan, sudah dapat uang banyak. Terbukti mereka menolak ketika ku ajak berjualan. Mereka bilang dulu sudah pernah melakukannya (entah benar entah tidak) namun keuntungannya sedikit.
Sempat kuberi mereka penjelasan; “Kalau kamu ngamen, sehari rata-rata dapat Rp. 50.000,- , ya udah berhenti sampai di sekitar angka itu saja, tidak akan berkembang penghasilamu, terus di lain sisi kamu dipandang rendah sama orang-orang di sekitarmu, diremehkan, dihina-hina di dalam hati mereka. Tapi beda kalau kamu mau usaha, kamu jualan, oke lah mungkin hari pertama cuma untung Rp. 10.000,- , tapi besok, besoknya lagi pasti keuntungan itu akan bertambah, jadi Rp. 30.000,- , lalu Rp. 50.000,-, usahamu berkembang lagi, tambah untungnya jadi Rp.100.000,-, begitu!”  
Ya, kupikir berjualan itu masih jauh lebih baik dari pada mereka hanya mengamen dan menjadi asing dengan berusaha keras. Setidaknya berjualan akan membuat pemikiran mereka berkembang. Karakter pantang menyerah dan selalu optimis akan mereka dapatkan. Ilmu-ilmu bisnis akan mereka peroleh secara langsung. Kutekankan hal ini pada dua anak kelas 9 SMP yang akan lulus, dari pada mereka tak dapat melanjutkan ke jenjang sekolah diatasnya, lalu hanya berjalan-jalan gontai di perempatan.
Anak-anak SD itu entah paham atau tidak dengan perkataanku, sepertinya mereka paham, namun mereka juga paham kalau orangtua mereka tidak akan mengijinkannya untuk resign dari profesi mengamennya. Yah, itulah susahnya berurusan dengan orang-orang yang kurang terdidik. Namun kita tak bisa menyalahkan mereka juga. Memang pendidikan yang mereka dapatkan hanya sebatas itu, hingga akhirnya pun begitulah mereka memandang hidup mereka dan mengarahkan pandangan hidup anak-anaknya. Pada akhirnya kita akan menjadi bangsa yang tidak punya impian besar, semakin tua tidak semakin maju malah semakin mundur. Itulah mengapa memberikan pendidikan yang baik kepada semua anak-anak ibu pertiwi menjadi sesuatu yang penting dan mendesak untuk dilakukan.
Kawan! Sekarang sudah saatnya kita sebagai manusia yang terdidik menjadi manusia yang berguna bagi mereka, saudara-saudara sebangsa kita yang kurang mendapatkan pendidikan. Sadar atau tidak, mendidik mereka sebenarnya merupakan tanggungjawab kita sebagai orang yang terdidik.Bangkitkan mimpi-mimpi mereka yang telah terkubur karena setiap manusia berhak untuk bermimpi.
Lihat di sekeliling kita, berapa banyak anak jalanan yang kita telah lihat hari ini. Bagaimana keadaan mereka? Bagaimana mereka diperlakukan oleh germonya? Mendidik mereka, kedengarannya sederhana dan mudah, namun begitu banyak tantangan yang akan kita dapatkan, begitu banyak bahaya yang siap melindas jika kita tidak kuat. Namun, itu adalah tanggungjawab kita. Kita tak bisa menyalahkan mereka karena memang pendidikan yang telah mereka dapatkan menjadikan mereka seperti itu. Kalau kita menyalahkan mereka berarti kita menyalahkan diri kita sendiri. Kalau kita mencemooh mereka berarti kita mencemooh diri kita sendiri. Semakin banyak ilmu seseorang, semakin besar pula tanggungjawabnya.Apapun profesi kita, seberapa pun ilmu yang kita miliki, semoga dengan membagikannya pada anak-anak negeri yang tersisih, menjadi sebuah langkah signifikan untuk kemajuan bangsa ini.
Kehidupan semakin keras dan semuanya terlihat seperti tidakpernah stabil. Tapi, bukankah pendidikan membuat kita memahami tentang cara menghadapinya? Fakir miskin dan Anak terlantar dipelihara oleh negara. Ya, seperti inilah pemerintah negara kita mendidik mereka.Namun cuma bisa menyalahkan hanya akan membuat kita terlihat seperti orang yang tidak terpelajar. Kita harus melakukan sesuatu. Justru sebenarnya kita pun adalah pihak yang pantas untuk disalahkan dalam permasalahan ini. Kita belum dapat sepenuhnya memenuhi tanggungjawab kita sebagai orang terpelajar, orang yang terdidik dengan baik, terhadap mereka yang kurang terpelajar.
Bayangkan jika semua anak indonesia terdidik dengan baik, semua pengamen dan anak jalanan mempunyai impian besar dan mulai menapak untuk meraihnya. Terdengar seperti suatu hal yang tidak mungkin memang. Namun ketidakmungkinan itulah yang akan kita mungkinkan. Walaupun aku belum membuktikan sepenuhnyaada seseorang yang bisa kita jadikan contoh, dialah Agustinus Tedja karuna Bawana. Seseorang yang begitu kukagumi dalam hal ini. Beliau mendirikan JKJT, Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur, dan mendidik lebih dari 700 anak jalanan di hampir seluruh daerah di Jawa Timur. Kita tak perlu menjadi seperti beliau untuk menunjukkan perhatian kita pada nasib anak-anak negeri ini yang tersisih, yang tidak mendapatkan pendidikan dengan baik. Sedikit waktu yang kita curahkan untuk mendidik anak-anak itu pun sudah sangat berarti. Ketika berada di kendaraan umum, di tempat-tempat umum ketika kita bertemu mereka, berkenan sedikit memberikan pendidikan untuk mereka, itu saja sudah cukup. Namun bagi anda yang masih kurang dengan nilai cukup, mari bersama-sama kita mendidik mereka lebih intensif dengan cara kita sendiri-sendiriJadikan bangsa ini menjadi bangsa yang besar, bangsa yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi, bangsa yang memiliki anak-anakterpelajar yang memiliki impian besar, bangsa yang tak pernah lelah untuk belajar.

Die einfache Verbformen

klik dahulu ya

Die einfache Verbformen

PRÄSENS
A. Schwache Verben ( Kata Kerja Lemah )
1. Aturan secara umum
SINGULARPLURAL
ich
du
er
sie
es
Sie
sag-e
sag-st
sag-t
sag-t
sag-t
sag-en
wir
ihr
sie
sag-en
sag-t
sag-en
2. Jika Wortstamm dari kata kerja berakhir dengan –d, -m, -n , maka mendapat akhiran sebagai berikut
:
PERSONbadenatmenrechnen
ich
du
er, sie, es
Sie
wir
ihr
sie
bad-e
bad-e -st
bad -e-t
bad -en
bad -en
bad -e-t
bad -en
atm – e
atm-e -st
atm-e-t
atm-en
atm-en
atm-e-t
atm-en
rechn-e
rechn-e -st
rechn -e-t
rechn -en
rechn -en
rechn -e-t
rechn -en
B. Starke Verben ( Kata Kerja Kuat )
Starke Verben dalam bentuk Präsens mempunyai peraturan yang sama dengan Scwache Verben dalam hal penambahan akhiran (Endungen) sesyai dengan personnya, sedangkan aturan yang lainya adalah sebagai berikut :
Starke Verben mit dem Stammvokal –e, -a, -au dan –o berubah stammvokalnya
-a zu -ä
-e zu –i (-ie)
–au zu –äu
-o zu ö (Umlaut)
Personnehmenlaufenstoβenfahren
ich
du
er, sie, es
Sie
wir
ihr
sie
nehm-e
nihm -st
nihm-t
nehm -en
nehm -en
nihm-t
nehm -en
lauf-e
läuf-st
läuf-t
lauf -en
lauf -en
läuf-t
lauf -en
stoβ-e
stöβ-st
stöβ-t
stoβ -en
stoβ -en
stöβ-t
stoβ -en
fahr – e
fähr-st
fähr-t
fahr-en
fahr-en
fähr-t
fahr-en
C. SEIN , HABEN

PERSON

sein

haben

ich
du
er, sie, es
Sie
wir
ihr

sie

bin
bist
ist
sind
sind
seid

sind

habe
hast
hat
haben
haben
habt

haben

D. Die Formen des Präsenssatz
( + ) Ich komme aus Kediri.
( – ) Ich komme nicht aus Kediri aber ich komme aus Banjarmasin
( ? ) Woher kommst du ?
( ? ) Kommst du aus Kediri ?

WILLKOMMEN !!!!!! eps 5 & 6

klik dahulu ya

Trailer:
„Pemesanan tempat dan Orientasi“ / „Makanan Jerman“




TV Symbol „Pemesanan tempat dan Orientasi“ 
TV Symbol „Makanan Jerman“


Episode 5: „Pemesanan tempat dan Orientasi“
kandungan isi filmDi episode ini Ibu Nägeli dan Ibu Schröder melakukan pemesanan tempat per telepon di sebuah restoran Jerman yang bernama ‚Die Stube’. Dalam perjalanan menuju restoran Sebastian bertanya pada pejalan kaki mengenai arah menuju restoran. Ibu Nägeli menelpon restoran tersebut untuk menanyakan alamatnya.
Kegiatanpemesanan tempat di restoran, menanyakan arah jalan, menjelaskan suatu alamat.
DownloadsDownload Symbol Pembukaan (FLV, 11 MB)
Download Symbol Film (FLV, 25 MB)
Download Symbol Moderasi (FLV, 31 MB)


Episode 6: „Makanan Jerman“
kandungan isi filmDi episode ini Ibu Nägeli dan anaknya Sebastian makan di restoran Jerman ‚Die Stube’. Pelayan restoran yang bernama Bono menyarankan berbagai jenis masakan khas Jerman dan menyajikan makanan pembuka, hidangan utama, hidangan penutup, dan minuman.
Kegiatanbertanya mengenai masakan dan minuman, menyarankan masakan dan minuman, melakukan pemesanan dan penyajian, berbicara mengenai tema sepakbola.
DownloadsDownload Symbol Pembukaan (FLV, 11 MB)
Download Symbol Film (FLV, 23 MB)
Download Symbol Moderasi (FLV, 37 MB)

WILLKOMMEN !!!!!! eps 3 & 4

klik dahulu ya

Trailer:
„Informasi di Hotel“ / „Di Restoran Hotel“




TV Symbol „Informasi di Hotel“ 
TV Symbol „Di Restoran Hotel“


Episode 3: „Informasi di Hotel“
kandungan isi filmDi episode ini Ibu Braun meninggalkan pesan untuk Ibu Schäfer dan Ibu Reis meninggalkan pesan untuk Bapak Schröder. Bapak dan Ibu Schäfer mencari informasi di resepsionis mengenai fasilitas yang ada di hotel. Ibu Schwarzenegger ingin mencari info mengenai kota Jakarta. Mono sang resepsionis memberitahu mengenai informasi tersebut.
KegiatanBertanya mengenai orang, nomor kamar, nomor telepon, keterangan waktu, mengeja kata-kata, membuat pemberitahuan, memberikan informasi, menerangkan fasilitas di hotel, objek wisata dan pusat perbelanjaan
DownloadsDownload Symbol Pembukaan (FLV, 12 MB)
Download Symbol Film (FLV, 18 MB)
Download Symbol Moderasi (FLV, 31 MB)


Episode 4: „Di Restoran Hotel“
kandungan isi filmDi episode ini Ibu Nägeli dan anaknya Sebastian makan di restoran hotel. Pelayan restoran menyarankan masakan khas Indonesia. Tak lama kemudian datang Ibu Daniela Schmidt ke restoran. Sebastian membuat janji dengan Ibu Schmidt untuk keesokan harinya.
Kegiatanbertanya mengenai makanan dan minuman, memberi saran mengenai makanan dan minuman, melakukan pemesanan dan penyajian, membuat janji
DownloadsDownload Symbol Pembukaan (FLV, 8 MB)
Download Symbol Film (FLV, 19 MB)
Download Symbol Moderasi (FLV, 32 MB)

WILLKOMMEN !!!!

klik dahulu ya

Trailer: „Di Bandara“ / „Di Hotel Aryaduta“




TV Symbol „Di Bandara“ 
TV Symbol „Di Hotel Aryaduta“


Episode 1: „Di Bandara“
kandungan isi filmDi episode ini, Tono dari kantor biro perjalanan ’’Antatour’’ menyambut enam orang turis dari Jerman, Austria, dan Swiss di bandara Soekarno-Hatta Jakarta: Ibu Schmidt, Bapak dan Ibu Schäfer, Ibu Nägeli dengan anaknya Sebastian, dan Ibu Schwarzenegger.
Kegiatanmemberi salam, memperkenalkan diri sendiri dan orang lain berdasarkan nama, asal, dan pekerjaan
DownloadsDownload Symbol Pembukaan (FLV, 10 MB)
Download Symbol Film (FLV, 14 MB)
Download Symbol Moderasi (FLV, 29 MB)


Episode 2: „Di Hotel Aryaduta“
kandungan isi filmDi episode ini Ibu Nägeli dan anaknya Sebastian check-in di Hotel Aryaduta. Dono, sang petugas hotel, menjelaskan mengenai perlengkapan yang ada di kamar. Bapak Häring memesan kamar kepada Mono, sang resepsionis, Ibu Maier memesan kamar melalui telepon.
Kegiatanmemberi salam, memperkenalkan diri, menerima pesan dari tamu hotel, mengeja pesan, memesan kamar hotel, menyebutkan perlengkapan yang ada di kamar hotel.
DownloadsDownload Symbol Pembukaan (FLV, 13 MB)
Download Symbol Film (FLV, 25 MB)
Download Symbol Moderasi 1 (FLV, 22 MB)
Download Symbol Moderasi 2 (FLV, 16 MB)

Aku dan Dunia Contek - Mencontek

klik dahulu ya



“Setitik langkah untuk berubah dan berbuah”
Geram, aku mendengar wacana perubahan dari berbagai pihak dan kalangan. Katanya, mau membenahi ini dan itu. Tetapi, semua sekadar wacana tanpa ada aksi nyata. Dunia pendidikan yang seharusnya membentuk karakter bangsa telah kehilangan arah. Karena faktanya, diri ini melihat dan merasakan esensi pendidikan belum sesuai tujuan pendidikan nasional.

Sekolah sebagai institusi pendidikan lebih fokus pada kecerdasan otak (IQ)tanpa adanya keseimbangan dengan kecerdasan emosional (EQ). Parahnya lagi, sekolah justru memberi pengondisian untuk berpaling dari nilai - nilai budaya dan karakter bangsa. Kecerdasan otak berbanding terbalik dengan kecerdasan moral dan akhlak. Contoh sederhana yaitu celah - celah korupsi di sekolah. Hal itu terlukiskan lewat tingkah laku para pendidik maupun pelajar atau mahasiswa. Disini saya tak ingin menghakimi siapapun. Nilai - nilai budaya karakter bangsa seperti jujur dan religius terpampang jelas di setiap kelas. Namun, tak ada perubahan. Buktinya masih banyak saja siswa – siswi yang mencontek. Pengalaman membuktikan.  
Motivasi untuk menjadi teladan, memberiku keberanian untuk menuliskan segenggam asa yang terpendam. Awalnya tak terpikir untuk mengambil komitmen"berhenti mencontek" . Sebuah pelatihan kepemimpinan mengubah paradigma di hidupku. Gelar "duta muda anti korupsi" dari sebuah lembaga independen mengarahkanku untuk peduli terhadap persoalan krusial tersebut. Aku percaya, sekecil apapun aksi yang dilakukan pasti berarti. Tak ada yang sia – sia dalam setiap perjuangan. Aku memang belum bisa untuk menyadarkan para “rayap negara”. Tetapi, minimal aku harus menyadarkan diri ini dahulu dan orang – orang di sekitarku.  
Besar kerinduanku untuk berhenti mencontek dan tidak memberi contekan. Tetapi, hingga detik ini belum bisa untuk tidak memberi contekan. Sungguh aku malu terhadap gelar yang telah aku dapatkan. Aku ingin menjadi teladan. Bagaimana caranya. Aku harus tegas. Bagaimana mau menjadi teladan. Jika diri ini masih bersemayam dalam "dunia contek - mencontek". Mungkin, sebagian diantara kita mengangap ini biasa. Tetapi, bagiku ini adalah perkara luarbiasa. Karena, para pelaku tidak merasa berdosa. Seolah - olah, mencontek itu adalah hal yang lumrah. Sah - sah saja. Secara tidak langsung, mencontek dilegalkan oleh banyak pihak yang mengambil keuntungan. Atas nama “persahabatan”, terkadang aku memberi contekan. Ini tak bisa dibiarkan. Korupsi sekecil apapun itu tidak bisa dibiarkan. Bukankah mecontek adalah bibit – bibit awal korupsi.
Bagaimana bangsa ini mau maju, jika pelajar telah jatuh cinta pada dunia"contek-mencontek". Dengan bangga mencuri hasil kecerdasan orang lain. Dimana peran sekolah dalam menetaskan kasus ini. Pelajar kita telah kehilangan arah. Parahnya lagi, tak ada contoh sosok yang baik di depan matanya. Andai saja, aku bisa menjadi teladan. Kusadari, sebelum merubah orang lain aku harus instropeksi diri. Aku pun membuat komitmen antara diriku dan Tuhan untuk tidak mencontek. Kiranya, Sang Pencipta menguatkan hati ini untuk berjalan selaras dengan kebenaran. Berhenti mengikuti arus sesat “contek – mencontek”.  Perlahan tapi pasti, aku pasti bisa. Kucoba, serahkan semua pada Sang Kuasa. Aku percaya, Ia akan menolong umatNya bangkit dari dosa. Awalnya terasa berat. Godaan dan rintangan silih berganti. Namun semua akan menjadi mudah ketika aku bersedia melalui jalan itu.
Tatkala, aku menulis ini. Tiba – tiba teringat pengalaman Ujian Nasional (UN) 3 tahun yang lalu. Tepatnya, ketika diri ini kelas 3 SMP (Sekolah Menengah Pertama). Bocoran jawaban UN di depan mata. Sempat terpikir, untuk menerimanya. Namun, tidak jadi. Aku telah belajar dan berdoa untuk menghadapi ujian itu. Jika aku menerima bocoran itu, sama saja aku menjual harga diriku dengan sekotak kebahagian semu. Aku juga mengingkari Kebesaran Tuhan dan mempermainkan-Nya. Buat apa kita berdoa sebelum UN, jika pada kenyataanya kita mengandalkan kekuatan “bocoran jawaban”.Berdoa kepada Tuhan, tetapi kok meminta jawaban pada setan. Mencontek, mengandalkan bintang kelas, atau “bocoran jawaban” merupakan ciri pengingkaran kita terhadap Dia. Jika memilih jalan sesat itu, lebih baik tidak usah berdoa. Akhirnya, dengan tegas aku menolak “bocoran jawaban” itu.
Berangkat dari pengalaman itu, kucoba untuk menerapkannya di dunia pendidikan yang kini kujalani. Aku tidak boleh berhenti sampai disini. Aku juga tidak boleh memberi contekan. Bukan…bukannya kau pelit. Aku hanya ingin mengirit dosa. Dengan memberi contekan, berarti aku telah membiarkan orang lain jatuh ke dalam dosa. Hanya orang jahat yang akan membiarkan kejahatan ada di depan matanya. Bukan hanya dia yang berdosa, tetapi aku si pemberi contekan juga ikut berdosa. Tidak memberi contekan lebih rumit daripada tidak mencontek. Karena, ada dua pihak yang harus dijaga. Ada perasaan orang lain yang sulit untuk diberi pengertian. Tidak semua temanku mengerti keputusan ini. Bahkan untuk memberi pengertian pada teman akrab pun sulit. Kuyakinkan diri untuk berkomitmen dengan teman sebangku, namanya Regari Fuji.
“Jika aku bertanya, tolong JANGAN dijawab”
Yah, ketika ulangan tiba kalimat ini terekam dalam memori hatiku.  Semoga saja, ia juga merekamnya dalam memori hati nurani. Maksudnya disini adalah bertanya jawaban atau cara menyelesaikan soal dalam setiap ulangan. Tidak boleh ada diskusi dalam ulangan.
“Maaf, aku tak bisa menjawab pertanyaanmu dalam ulangan”
Kalimat ini berarti aku tidak akan memberikan dia contekan ketika ulangan. Aku berharap ia mengerti. Hasratku ingin berubah dan berbuah menjadi pribadi yang lebih jujur harus tergambar di setiap ucapan dan tindakan.
“Ntar, kalo ulangan umum aku puasa Jen”
Begitulah kata temanku Regari. Ia berusaha menghindari memberi contekan pada teman dengan berpuasa. Biasanya, teman – teman akan mengerti dan menyerah untuk bertanya pada orang yang sedang berpuasa. Menyerah secara terpaksa dengan muka kesal. Apalagi mengingat temanku itu adalah seorang muslim yang taat. Bagaimana dengan diriku. Aku tak bisa memakai senjata “puasa” sepertinya. Karena, cara itu telah kucoba. Namun, belum berhasil. Tak ada yang percaya, aku sedang berpuasa. Pasalnya, aku seorang Nasrani. Menurut mereka, jarang orang Nasrani berpuasa. Padahal, faktanya tidak seperti itu. Menyadari keadaan di sekeliling, aku mencurahkan isi hati  ini pada Tuhan yang Maha Esa. Aku tak bisa mengandalkan puasa untuk tidak memberi contekan. Aku harus memiliki pagar perlindungan yang tak terpatahkan. Dalam setiap keadaan aku harus mennjadi teladan.
Sekarang, aku mungkin dikenal pelit karena tidak memberi contekan. Menutup telinga rapat – rapat ketika ulangan tiba. Mengumpulkan hasil ulangan tanpa memikirkan nasib teman – teman yang belum selesai ulangan. Tetapi, aku percaya suatu waktu mereka pasti mengerti esensi tindakanku hari ini. Perubahan tak boleh ditunda – tunda. Jika hari ini bisa, mengapa harus menunggu esok. Aku harus berusaha memberi pengertian bukan dengan kata – kata. Namun lewat sikap yang menetas dalam realita.
Semoga saja. Kita terjaga dari perbuatan tidak terpuji ini. Berjuanglah kawan, untuk mempertahankan kebenaran. Jika yah, katakan yah. Jika tidak, katakan tidak. Selamat berjuang. Ini semua demi dirimu, demi keluargamu dan demi bangsamu. Bersedialah untuk melakukannya.
Dari sebutir debu yang ingin berubah dan berbuah