...Wahai kaum guru semua, bangunkan rakyat
dari gulita, Kita lah penyuluh bangsa, pembimbing melangkah ke muka
Insyaflah ‘kan kewajiban kita, mendidik
mengajar pra’putra, Kita lah pembangun jiwa, pencipta kekuatan negara...
Dari syair MARS PGRI di atas pun juga bisa kita simpulkan
bahwa tugas seorang guru adalah mendidik bukan mencari materi
sebanyak-banyaknya. Menjadi guru yang benar-benar berkualitas, dan berharap
agar anak didiknya dapat meneruskan cita-cita bangsanya.
Guru juga diibaratkan pahlawan tanpa tanda jasa dalam
dunia pendidikan. Perannya dalam pendidikan bukan semata-mata sebagai pemberi
nilai dalam rapor, atau menjadi panitia ketika ada ulangan, juga bukan hanya
sebagai pemberi peringkat bagi anak didiknya yang berprestasi di kelas. Jasanya
yang begitu besar dalam memberikan pengajaran dan pelajaran tidak semata-maka
agar anak didiknya mendapat pengetahuan yang nantinya bermanfaat sebagai
pedoman di masa depan, ia juga tidak hanya meluluskan dan memberi pengajaran
dan memberi nilai bagi anak didiknya yang mampu memenuhi kriteria kelulusan.
Akan tetapi, ia ingin anak didiknya nanti tidak terpengaruh dengan hal-hal
berbau negatif, jika kelak ia dewasa, ia tidak akan merasakan penyesalan dalam
setiap langkahnya.
Bagaimana guru mengajar pastilah berpengaruh terhadap
prestasi muridnya. Misalnya saja seorang guru mengajarkan kepada muridnya
dengan senang hati, ramah tamah dan bisa memposisikan siapa dia. Layaknya
seorang dokter, guru adalah sosok yang berperan sebagai dokter pendidikan. Ia
merupakan penyembuh dari kebutaan aksara dan kepincangan pengetahuan. Walau
tidak secara penuh peran seorang guru adalah sebagai penyembuh dari hal
tersebut, guru merupakan faktor penting yang pasti akan selalu dibutuhkan
dalam kehidupan.
Dewasa ini, guru profesional dianggap guru yang bisa
mendapatkan sertifikasi, dan yang mendapat sertifikasi tersebut adalah guru
yang benar-benar berpretasi. Selain itu, guru yang mendapat sertifikasi
dianggap mampu menjadikan siswanya berprestasi secara akademik maupun non-akademik
dibuktikan dengan piagam yang dilampirkan di data formsertifikasi.
Tapi apa itu bisa menjamin? Hal ini yang perlu menjadi tanda tanya apakah semua
itu dapat dipertanggung jawabkan kedepannya? Apa sertifikasi tersebut
benar-benar murni dari prestasi guru atau sebatas mencari tambahan materi?
Sertifikasi tersebut membuat honor seorang guru menjadi
bertambah, terlebih lagi pemerintah yang terlalu berbaik hati mengadakan sebuah
wahana yang sering disebut “ Gaji ke-13 “ di mana seorang guru mendapatkan
tambahan gaji yang sama setahun sekali. Tapi apakah semua itu bisa
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat? Lalu bagaimana nasib seorang guru yang
berada di daerah terpencil? Apa mereka mendapatkan perlakuan yang sama dan
fasilitas yang sama dengan guru yang berada di daerah yang layak dan mempunyai
keterjangkauan yang luas akan informasi, teknologi dan sarana prasarana?
Yang perlu digarisbawahi adalah guru profesional bukanlah
guru yang berhasil mendapatkan sertifikasi yang diberikan oleh pemerintah, tapi
guru profesional adalah guru yang mampu menyesuaikan posisinya di mata
siswa-siswanya. Bagaimana keadaan siswa-siswanya, bagaimana atmosfer di dalam
kelas, dan bagaimana siswa itu ingin dibimbing, misalnya belajar dalam ruangan
(in door) atau di luar ruangan (out door). Seorang guru tidak
boleh mementingkan kepentinganya saja, misalnya ia tidak mematikan handphonenya
pada saat pelajaran, tentunya siswa yang mendapat perlakuan untuk mematikan
handphonenya akan menerka-nerka dengan apa yang sudah dikatakan gurunya. Diibaratkan
seperti asascourtesy dalam sebuah perjanjian internasional, yaitu
asas yang berintikan untuk saling menghormati, karena menghormati tidak hanya
digunakan untuk yang lebih tua, tapi semua manusia baik dari yang balita sampai
lanjut usia.
Guru akan mendapat respon yang baik dari anak didiknya
ketika seorang guru dapat berperan multi. Guru akan menjadi teman
sekaligus pengajar. Dikatakan sebagai teman, guru tidak hanya mengajar secara
monoton, tapi mengerti dengan kondisi, masalah dan kemauan anak didiknya. Tidak
selalu monoton hanya memberikan pengajaran, memberikan pekerjaan rumah dan
tugas kelompok yang begitu banyaknya. Akan tetapi, seorang guru bisa menjadi
partner atau rekan tempat berbagi kisah dari anak didiknya. Guru bisa dijadikan
tempat curhat ( curahan hati ) di luar jam pelajaran. Di samping itu, guru bisa
memberikan pemecahan masalah walau tidak seratus persen saran dari guru
tersebut dapat menyelesaikan permasalahan anak didiknya. Paling tidak, saran
dari guru tersebut sedikit demi sedikit mengurangi beban yang ditanggung oleh
anak didiknya.
Guru juga dianggap sebagai orangtua di sekolah,
adakalanya ketika ada anak didiknya yang merasa jenuh dan bosan akan tingkah
dan laku orangtuanya di rumah, ia pasti akan beralih kepada guru yang ia anggap
paling disenangi. Ia pasti lebih merasa nyaman berada di dekat gurunya daripada
orangtuanya sendiri. Mungkin karena ia merasa kurang akan perhatian orangtuanya
di rumah atau sebab lain. Hal ini bisa dijadikan peluang untuk membujuk anak
didiknya agar ia tidak bersikap seperti itu, pendekatan ini yang akan membuat
anak didiknya merasa nyaman di dekat gurunya.
Menjadi guru profesional bukan hal yang tak mungkin untuk
dimiliki dalam jiwa masing-masing guru, sebuah keyakinan untuk menjadi media
penyalur pengetahuan bukan sebagai mesin uang ( sebatas mencari materi ) adalah
hal yang utama untuk ditanamkan. Tidak hanya memandang sebelah mata guru-guru
yang ada di pinggiran desa atau di desa terpencil saja, siapa tau daya berpikir
mereka justru lebih tinggi daripada guru yang ada di kota. Guru profesional
bukan kaya akan materi, tapi kaya akan hati. Selain itu, ia juga bisa menjadi
guru bagi setiap orang yang mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Apa
salahnya? Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa setiap orang di segala umur
ingin belajar dan belajar agar tidak terbutakan oleh perkembangan jaman.
Seorang guru profesional tidak pasti dapat dilihat dengan
embel-embel guru bersertifikasi, bahkan bisa guru yang tidak bersertifikasi
jauh lebih baik daripada guru yang bersertifikasi. Jangan menilai dari apa yang
digelarkan, akan tetapi bagaimana ia direspon dan pengaruhnya terhadap prestasi
khalayak sesungguhnya. Tak hanya
Jika boleh memilih, lebih baik menjadi guru yang berguna
dan mempunyai pengabdian daripada guru yang hanya bermodal gelar dan bergaji
besar, walau memang gaji yang besar adalah idaman seorang guru yang menganggap
jerih payahnya tak bisa diukur dengan uang. Sesungguhnya, tanggung jawab itu
tidak hanya di depan umum akan tetapi kepada Tuhan. Motivasi sebagai seorang
guru bukanlah hanya mendapat bayaran dan seperti yang ada sekarang, mendapat
sertifikasi sehingga balas saja yang aku dapat lebih dari sekedar memenuhi
kebutuhanku. Akan tetapi, negara ini membutuhkan guru yang benar-benar guru
akan negara ini mampu bersaing seperti dulu. Malaysia dahulu mengimpor guru
dari Indonesia, tapi sekarang semuanya serba terbalik.
Menjadi guru hendaklah tulus dan ikhlas, dan berusaha
menjadi peran yang disukai oleh siswanya. Bukan mendapatkan stereotip “guru
galak” atau cap lain yang dilayangkan oleh siswanya. Sebagai pendidik karakter,
tentunya guru berperan aktif. Untuk masa berjuang sebelum diangkat PNS,
hendaknya guru juga mempunyai rasa atau jiwa pendidik. Jiwa pendidik tersebut
juga untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Seperti salah seorang pengajar
sekolah hutan di Kalimantan, yang mengabdikan dirinya menjadi tenaga pendidik
yang berjiwa luhur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar