klik dahulu ya
Hembus
angin sore mulai terasa menusuk tulang. Dingin. Letih sekali sejak tadi
mengedarkan pandang ke kanan-kiri tak juga kutemukan alamat yang kucari. Pintu belakang angkot biru yang dibuka
penuh membuat angin dengan leluasa memaksa bulu-bulu kulitku berdiri. Walaupun
sudah dua tahun lebih aku tinggal di kota ini, tak pernah aku menghafal
nama-namajalan.
Angkot
yang kutumpangi berhenti sejenak di sebuah perempatan, menunggu lampu merah
berganti warna. Dua anak kecil dengan kaos oblong hitam dan oranye, bawahan
celana kolor selutut membunyikan ecek-eceknya lalu mulai mendendangkan sebuah
lagu, entah lagu apa tak begitu jelas kudengar. Mereka sedikit kaget melihatku
duduk manis dihadapannya.
“Loh mas, mau ke mana
sampean mas? Nggak ke sini lagi ta mas?”
Tak hanya mereka, pun aku
juga kaget bertemu anak-anak itu di sini. Memang ini hari sabtu, tapi aku tak
ada rencana mengunjungi mereka sebenarnya. Sedikit tersenyum kubalas tatapan
ramah mereka.
“Minggu depan insyaAllah.
Gimana UTS mu? Belajar, ngamen aja kerjaannya!”
Belum sempat mereka
menjawab, angkot sudah kembali berjalan.
“Aku duluan ya dik, jangan
lupa minggu depan, ajak temen-temenmu yang banyak!”
“Iya mas!”
Ah, sudah hampir dua minggu aku tak
berjumpa mereka. Anak-anakSD yang menghabiskan separuh harinya mengamen di
perempatan Kaliurang, Kota Malang. Selain mereka berdua, cukup banyak anak
lainnya yang biasanya mangkal di sana dengan ditemani ibu mereka, ada juga yang sudah SMP.
Yang tidak sekolah pun juga ada. Sebuah perempatan yang cukup ramai dan tak
begitu jauh dari rumah mereka.
Biasanya
tiap sabtu sore aku dan teman-teman mengunjungi mereka, belajar pelajaran
akademik bersama atau berbagi pengetahuan tentang berbagai hal menarik yang
kami ketahui entah dari sekolah, internet, buku, majalah, jurnal, dsb. Sekadar
sharing, menyanyi bersama, atau bermain-main sekenanya yang penting bersama
kita senang.
Berawal
dari community serviceyang merupakan program sekolah, sudah hampir
setahun ini aku dan teman-teman menyempatkan waktu untuk mengunjungi mereka.
Biasanya sekali dalam seminggu walaupun pada awalnya tidak terlalu sering.
Sedikit mengenal mereka lebih dalam membuatku memahami sesuatu. Mereka,
anak-anak itu ada di sana karena dengan begitu orangtua mereka merasa sangat
terbantu ekonominya walaupun sebenarnya orangtua mereka juga masih prima
fisiknya. Ibu mereka biasanya hanya duduk-duduk di emperan sebuah toko yang
tutup, menjaga anak-anaknya agar tak ditangkap satpol pp atau dijahili anak
jalanan lain yang lebih tua.
Maindset
anak-anak itu pun berubah. Mereka yang awalnya sangat gemar bermain layaknya
anak-anak pada umumnya, kemudian menjadi anak yang mata duitan. Mereka kena
pengaruh pergaulan jalanan, bertemu anak-anak jalanan lain yang lebih tua, yang
merokok, minum minuman keras, berkata kotor, mereka berbagi pengalaman nakal
yang kemudian menginspirasi anak-anak itu untuk melakukan kenakalan itu.
Mereka
sebenarnya anak yang baik, namun lingkungan mendidik mereka dengan kurang baik.
Mulai dari lingkungan keluarga; orangtua yang kurang sadar akan pentingnya
pendidikan baik pendidikan akhlak, karakter, maupun akademik, dan menganggap
uang jauh lebih penting dari pendidikan anaknya. Lingkungan sekolah; guru yang
kurang peduli atau perhatian kepada mereka karena memberikan kepedulian lebih
pada keadaan murid tak akan berpengaruh pada gaji bulanannya. Juga lingkungan
“bermain” yang tidak semestinya.
Akibatnya
mereka menjadi anak-anak yang temperamen, tidak dapat berpikir visioner jernih
dan terbuka layaknya anak-anak pada umumnya, karena yang ada di
pikirannya hanya mendapatkan uang dan uang saja. Mereka tidak mau berusaha
keras untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan; hanya tinggal membunyikan
ecek-ecek lalu menengadahkan tangan, sudah dapat uang banyak. Terbukti mereka
menolak ketika ku ajak berjualan. Mereka bilang dulu sudah pernah melakukannya
(entah benar entah tidak) namun keuntungannya sedikit.
Sempat
kuberi mereka penjelasan; “Kalau kamu ngamen, sehari rata-rata dapat Rp.
50.000,- , ya udah berhenti sampai di sekitar angka itu saja, tidak akan
berkembang penghasilamu, terus di lain sisi kamu dipandang rendah sama
orang-orang di sekitarmu, diremehkan, dihina-hina di dalam hati mereka. Tapi
beda kalau kamu mau usaha, kamu jualan, oke lah mungkin hari pertama cuma
untung Rp. 10.000,- , tapi besok, besoknya lagi pasti keuntungan itu akan
bertambah, jadi Rp. 30.000,- , lalu Rp. 50.000,-, usahamu berkembang lagi,
tambah untungnya jadi Rp.100.000,-, begitu!”
Ya,
kupikir berjualan itu masih jauh lebih baik dari pada mereka hanya mengamen dan
menjadi asing dengan berusaha keras. Setidaknya berjualan akan membuat
pemikiran mereka berkembang. Karakter pantang menyerah dan selalu optimis akan
mereka dapatkan. Ilmu-ilmu bisnis akan mereka peroleh secara langsung.
Kutekankan hal ini pada dua anak kelas 9 SMP yang akan lulus, dari pada mereka
tak dapat melanjutkan ke jenjang sekolah diatasnya, lalu hanya berjalan-jalan
gontai di perempatan.
Anak-anak
SD itu entah paham atau tidak dengan perkataanku, sepertinya mereka paham,
namun mereka juga paham kalau orangtua mereka tidak akan mengijinkannya untuk resign dari
profesi mengamennya. Yah, itulah susahnya berurusan dengan orang-orang yang
kurang terdidik. Namun kita tak bisa menyalahkan mereka juga. Memang pendidikan
yang mereka dapatkan hanya sebatas itu, hingga akhirnya pun begitulah mereka
memandang hidup mereka dan mengarahkan pandangan hidup anak-anaknya. Pada akhirnya kita akan menjadi bangsa yang tidak punya
impian besar, semakin tua tidak semakin maju malah semakin mundur. Itulah
mengapa memberikan pendidikan yang baik kepada semua anak-anak ibu pertiwi
menjadi sesuatu yang penting dan mendesak untuk dilakukan.
Kawan!
Sekarang sudah saatnya kita sebagai manusia yang terdidik menjadi manusia yang
berguna bagi mereka, saudara-saudara sebangsa kita yang kurang mendapatkan
pendidikan. Sadar atau tidak, mendidik mereka sebenarnya merupakan
tanggungjawab kita sebagai orang yang terdidik.Bangkitkan mimpi-mimpi mereka yang telah terkubur karena
setiap manusia berhak untuk bermimpi.
Lihat di sekeliling kita, berapa banyak anak jalanan yang
kita telah lihat hari ini. Bagaimana keadaan mereka? Bagaimana mereka
diperlakukan oleh germonya? Mendidik mereka, kedengarannya sederhana dan mudah,
namun begitu banyak tantangan yang akan kita dapatkan, begitu banyak bahaya yang siap
melindas jika kita tidak kuat. Namun, itu adalah
tanggungjawab kita. Kita tak bisa menyalahkan mereka karena memang pendidikan
yang telah mereka
dapatkan menjadikan mereka seperti itu. Kalau kita menyalahkan mereka berarti
kita menyalahkan diri kita sendiri. Kalau kita mencemooh mereka berarti kita
mencemooh diri kita sendiri. Semakin banyak ilmu seseorang, semakin besar pula
tanggungjawabnya.Apapun profesi kita, seberapa pun ilmu yang kita miliki, semoga
dengan membagikannya pada anak-anak negeri yang tersisih, menjadi sebuah
langkah signifikan untuk kemajuan bangsa ini.
Kehidupan semakin keras dan semuanya terlihat seperti
tidakpernah stabil.
Tapi, bukankah pendidikan membuat kita memahami tentang cara menghadapinya?
Fakir miskin dan Anak terlantar dipelihara oleh negara. Ya, seperti inilah pemerintah negara kita mendidik mereka.Namun cuma
bisa menyalahkan hanya
akan membuat kita terlihat seperti orang yang
tidak terpelajar. Kita harus melakukan sesuatu. Justru sebenarnya kita pun
adalah pihak yang pantas untuk disalahkan dalam permasalahan ini. Kita belum
dapat sepenuhnya memenuhi tanggungjawab kita sebagai orang terpelajar, orang yang
terdidik dengan baik, terhadap mereka yang kurang terpelajar.
Bayangkan
jika semua anak indonesia terdidik dengan baik,
semua pengamen dan anak jalanan mempunyai impian besar dan mulai menapak untuk
meraihnya. Terdengar seperti suatu hal yang tidak mungkin memang. Namun
ketidakmungkinan itulah yang akan kita mungkinkan. Walaupun aku belum
membuktikan sepenuhnya, ada
seseorang yang bisa kita jadikan contoh, dialah Agustinus Tedja karuna Bawana. Seseorang yang begitu kukagumi dalam hal ini. Beliau
mendirikan JKJT, Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur, dan
mendidik lebih dari 700 anak jalanan di hampir seluruh daerah di Jawa Timur.
Kita tak perlu menjadi seperti beliau untuk menunjukkan
perhatian kita pada nasib anak-anak negeri ini yang tersisih, yang tidak
mendapatkan pendidikan dengan baik.
Sedikit waktu yang kita curahkan untuk mendidik anak-anak itu pun sudah sangat
berarti. Ketika berada di kendaraan umum, di tempat-tempat umum ketika kita bertemu mereka, berkenan sedikit
memberikan pendidikan untuk mereka, itu saja sudah cukup. Namun bagi anda yang
masih kurang dengan nilai cukup, mari bersama-sama kita mendidik mereka lebih
intensif dengan cara kita sendiri-sendiri. Jadikan bangsa ini menjadi bangsa yang besar, bangsa yang memiliki
kepedulian sosial yang tinggi, bangsa yang memiliki anak-anakterpelajar yang memiliki impian besar, bangsa yang tak pernah
lelah untuk belajar.